Esai Lingkungan Hidup
berikut ada contoh esai yang aku tulis sekitar 2 tahun yang lalu….bisa coba dibaca…siapa tau bisa untuk inspirasi…heheheheee
SEJUTA BENCANA TERENCANA DI
INDONESIA
? Kulihat ibu pertiwi
Sedang
bersusah hati
Air
matanya berlinang
Mas
intan yang kau kenang
Hutan
gunung sawah lautan
Simpanan
kekayaan
Kini
ibu sedang lara
Merintih
dan berdoa ?
Sebait lagu di atas mungkin belum bisa melukiskan
betapa pedihnya derita ibu pertiwi. Kepedihan yang diderita manakala
hutan-hutan dibalak tanpa ampun. Air tak lagi mengalir jernih membasahi bumi. Udara
segar semakin sulit kita hirup. Langit menghitam menunjukkan kegarangannya.
Tanah menjadi tandus, kerontang mengekang benih kehidupan untuk tumbuh. Birunya
air laut berubah menjadi genangan kotor terpolusi. Flora dan fauna semakin
sulit menemukan rumah yang nyaman untuk tumbuh dan berkembang biak.
Refleksi di atas menggambarkan kondisi
lingkungan hidup di
Indonesia
dewasa ini. Lingkungan hidup, sebuah topik lawas yang selalu aktual untuk terus
dibicarakan dari waktu ke waktu. Tak lekang dimakan waktu dan tak usang ditelan
zaman. Hal ini dikarenakan lingkungan hidup merupakan aspek vital yang menjamin
kelangsungan hidup kita di dunia. Kerusakan dan penurunan daya dukung lingkungan
merupakan ancaman mengerikan bagi kita dan anak cucu kita kelak.
Namun, besarnya peran lingkungan hidup
tidak kita imbangi dengan kepedulian kita terhadap kelestariannya. Kita seolah
tak acuh terhadap kerusakan dan penurunan daya dukung alam. Sadarkah kita pemanasan
global akibat meluasnya lubang pada lapisan ozon mengancam kehidupan kita?
Tahukah kita berapa luas hutan yang berkurang setiap harinya akibat illegal logging? Pedulikah kita terhadap
pencemaran air dan udara yang kian hari semakin mengancam hidup kita?
Lingkungan hidup, sesuai Undang-Undang
Pengelolaan Lingkungan Hidup No.23 Tahun 1997, didefinisikan sebagai kesatuan
ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia
dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lain. Dengan demikian, sebagai manusia, pada
hakikatnya kita adalah bagian dari lingkungan hidup itu sendiri.
Akan tetapi, hakikat ini belum kita pahami
sepenuhnya. Selama ini kita menganggap lingkungan hidup dengan segala potensi
dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya merupakan objek yang bebas
kita manfaatkan. Kita terus mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan alam
tanpa menghiraukan batas. Kita pun seolah lupa bahwa kita harus merehabilitasi
ekosistem yang rusak akibat proses eksplorasi dan eksploitasi itu.
Inilah pangkal persoalan rusaknya kelestarian
lingkungan hidup di
Indonesia
.
Pemanfaatan sumber daya alam yang tidak berwawasan lingkungan serta rendahnya
kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem lingkungan.
Hal sederhana yang akhirnya menjadi weapon
mass destruction atau “senjata pemusnah massal” bagi kelangsungan hidup
manusia dan makhluk hidup lainnya di bumi. Bagaimana tidak, ratusan bencana
alam “buatan” yang menelan ribuan korban jiwa dan kerugian material yang tidak
terhitung jumlahnya terjadi karena kelalaian kita dalam menjaga kelestarian
lingkungan. Mulai dari pencemaran limbah industri, tanah longsor, banjir,
hingga kebakaran hutan adalah bukti nyata kelalaian kita.
Kita paham betul bahwa bencana seperti
banjir, tanah longsor, dan pencemaran lingkungan diakibatkan oleh ulah manusia
yang dengan seenaknya mengusik keseimbangan ekosistem. Siklus alam seperti
hujan deras atau musim kemarau panjang hanyalah sebagai pemicu saja. Menebangi
pepohonan di hutan lindung, mengalirkan limbah industri ke laut tanpa mengalami
proses pengolahan, membuang sampah ke sungai, pembukaan ladang berpindah, serta
konversi lahan basah merupakan investasi program jangka panjang terjadinya bencana.
Tanpa kita sadari, selama ini kita telah
merencanakan sejuta bencana yang akan menyengsarakan kita. Ya, hukuman setimpal
bagi manusia yang selama ini mengabaikan peringatan alam. Seharusnya kita peka
dengan teguran-teguran yang diberikan alam kepada kita. Teguran yang berupa
hujan deras, musim kemarau berkepanjangan, kotornya udara perkotaan, berkurangnya
area pepohonan di hutan, atau pun menumpuknya sampah di
sana
sini. Teguran yang menandakan bahwa tak
lama lagi akan terjadi bencana yang jauh lebih dahsyat.
Sepanjang
tahun 2005 hingga 2006 tercatat ada 131 bencana banjir dan tanah longsor di
Indonesia (www.geografiana.com , 23 Februari 2006). Penyebab utama musibah
tersebut adalah penurunan kualitas lingkungan seperti kritisnya kondisi Daerah
Aliran Sungai, berkurangnya daya serap tanah dan kapasitas tampung lapisan
tanah terhadap air, serta kondisi sungai yang buruk akibat sedimentasi dan
sampah hasil buangan penduduk. Tentu banjir bandang di Jember, Jawa Timur dan
longsor di Banjarnegara, Jawa Tengah bisa memberikan bukti nyata akan argumen
tersebut.
Daerah
banjir bandang di Jember terletak di zona kerentanan gerakan tanah yang
merupakan lereng bagian selatan Gunung Argopuro. Kondisi vegetasi di area
tersebut sangat buruk akibat adanya penggundulan hutan dan kesalahan dalam
pemilihan jenis tanaman yang dibudidayakan. Hal yang sama terjadi di
Banjarnegara. Curah hujan yang tinggi tidak dapat ditahan oleh tanah karena
pepohonan di bukit-bukit di sekitar lokasi bencana sudah jauh berkurang. Dengan
tingginya curah hujan, akumulasi air meningkat, sehingga tanah tidak kuat
menahan
massa
air dan terjadilah banjir dan diikuti tanah longsor yang menerjang desa-desa di
bawahnya. Jelas bahwa kita sendirilah yang “merencanakan” terjadinya bencana
ini.
Lalu
bagaimana dengan pencemaran lingkungan akibat kegiatan industri? Sudah tidak
dapat kita hitung lagi kerusakan alam yang timbul. Sungai seolah menjadi
saluran pembuangan limbah ke laut. Udara perkotaan seakan disesaki dengan asap
hitam dari pabrik-pabrik dan kendaraan bermotor. Kasus pencemaran lingkungan
dalam skala besar pun tidak terhitung banyaknya. Mulai dari kasus Exxon Mobile
di Aceh, PT Newmon Minahasa Raya di sekitar Teluk Buyat, PT Kelian Equatorial
Mining, hingga yang terakhir kasus PT Freeport Indonesia di Papua.
PT Freeport
jelas telah melanggar sejumlah peraturan mengenai lingkungan hidup. Pelanggaran
tersebut di antaranya adalah PT Freeport tidak memiliki ijin pembuangan air
asam tambang. Jumlah padatan tersuspensi (TSS)
yang dihasilkan dan dibuang ke estuari Sungai Ajkwa pun tidak memenuhi standar
parameter TSS yang telah ditetapkan.
Bahkan, PT Freeport juga belum mengantongi ijin pembuangan air limbah.
Ironisnya, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup, hanya
mengirimkan
surat
peringatan agar PT Freeport memperbaiki sistem pengelolaan lingkungannya (www.walhi.or.id
, 24 Maret 2006).
Sama
halnya dengan kasus-kasus sejenis sebelumnya, tidak ada sanksi tegas dalam
penanganan kasus ini. Kasus pencemaran lingkungan akan terlupakan seiring
dengan berjalannya waktu. Lingkungan akan semakin menderita dan merana.
Lingkungan juga akan terus “merencanakan” bencana-bencana lain untuk membalas
kelakuan buruk kita terhadapnya.
Pemanfaatan
potensi yang terdapat di lingkungan hidup memang bukan hal yang keliru. Hal ini
wajar mengingat
Indonesia
adalah negeri yang kaya akan sumber daya alam. Bahkan hal ini telah diatur
dalam UUD 1945, terutama Pasal 33 Ayat 3 yang berbunyi “Bumi, air, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Kita dapat menyimpulkan bahwa pengelolaan
lingkungan hidup pada akhirnya ditujukan untuk keberlangsungan kehidupan dan
kesejahteraan manusia di muka bumi ini.
Namun,
selama ini metode yang kita gunakan dalam pemanfaatan sumber daya alam masih jauh
dari metode yang berwawasan lingkungan. Kita hanya terfokus untuk terus mengeksplorasi
dan mengeksploitasi alam demi mendapatkan hasil yang maksimal. Kita belum serius
dalam melakukan reklamasi atau pemulihan kerusakan yang timbul akibat
pemanfaatan lingkungan hidup. Hutan tetap dibiarkan gundul. Daerah sekitar
pertambangan menjadi lubang-lubang raksasa tanpa mengalami proses pemulihan
pascapenambangan. Air tanah terus disedot tanpa menghiraukan ambang batas
maksimumnya. Lahan-lahan hijau di pegunungan yang sedianya berperan sebagai
daerah resapan air dirombak menjadi kawasan perumahan elit. Pengelolaan
lingkungan jangan hanya berorientasi pada kepentingan sesaat. Jika
Indonesia
terus
menerus seperti ini, kita akan bernasib seperti Republik
Nauru
.
Republik
Nauru
adalah negara tropis yang terletak di sebelah timur Papua. Negara seluas 21
kilometer persegi ini hancur total akibat penambangan fosfat selama 70 tahun. Mereka
sempat menikmati keuntungan sesaat berupa pendapatan per kapita yang mencapai
US $ 17.000 pada tahun 1981 dari hasil pertambangan fosfat dan tercatat sebagai
salah satu negara terkaya di dunia. Namun, pesta hanya sesaat. Setelah
penambangan berakhir, daratan
Nauru
hancur seperti bekas tambang timah di
Bangka
,
tambang batu bara di
Kalimantan
, dan daerah
tambang lain di Indonesia. Demikian pula limbah buangan tambang atau tailing di Nauru meninggalkan padang
tandus seperti 45.000 areal hutan yang ditimbuni limbah PT Freeport di Papua (www.kompas.com
31 Juli 2004). Bahkan, akibat
kerusakan alam ini, makanan dan air harus diimpor dari luar negeri. Kita sadari
atau tidak, perlahan tetapi pasti,
Indonesia
akan segera meniru jejak
Nauru
jika kita
tidak segera mengubah sikap dalam mengelola lingkungan hidup.
Sungguh
tidak adil jika kita hanya menyalahkan pemerintah dan terus-menerus mengeluhkan
kondisi seperti ini. Sebagai generasi muda penerus bangsa, kita harus turun
tangan dan memberikan kontribusi yang nyata dalam pelestarian lingkungan hidup.
Kita memiliki tanggung jawab moral kepada anak cucu kita untuk mewariskan
kekayaan alam
Indonesia
.
Meneladani
apa yang dikemukakan oleh Aa Gym, mari
bersama kita terapkan prinsip 3M.
Mulai dari hal yang terkecil, mulai dari diri sendiri, dan mulai dari sekarang
juga. Kita biasakan diri kita untuk peduli terhadap lingkungan hidup mulai hari
ini. Lakukan tindakan yang nyata. Jadilah teladan di lingkungan keluarga dan
ajak ayah, ibu, kakak, atau adik untuk melakukan penghijauan dan menjaga kebersihan
lingkungan di sekitar tempat tinggal kita. Ikutlah dalam organisasi-organisasi
yang aktif menjaga kelestarian lingkungan seperti Walhi, AKAR, YLBHI, WWF,
atau organisasi kepecintaalaman. Jadilah sukarelawan untuk program peduli
lingkungan yang diselenggarakan oleh pemerintah. Jangan biarkan diri kita hanya
berpangku tangan menyaksikan segala bencana dan kerusakan alam di Nusantara.
Learning from today’s disaster for tomorrow’s hazards. Kita harus bisa belajar dari bencana hari ini
untuk menghadapi ancaman bahaya hari esok. Jangan sampai ketika pohon terakhir
telah ditebang, sungai terakhir telah tercemar, ikan terakhir telah ditangkap,
dan tetes air terakhir telah berakhir, kita baru menyadari arti pentingnya
kelestarian lingkungan hidup bagi kita. Kita harus bisa menjaga warisan berupa
tanah air yang gemah ripah loh jinawi
dari nenek moyang kita dan kelak kita wariskan lagi kepada anak cucu kita.
Jikalau semua itu terlalu muluk,
biarlah saya menggantung mimpi untuk hidup di Jamrud Khatulistiwa ini dengan
penuh kedamaian. Menikmati alam
Indonesia
memanjakan kita seperti “Kolam Susu”. Jikalau tulisan ini tidak bisa mengubah
apapun, biarlah tulisan ini menjadi curahan hati dari salah satu anak negeri
yang begitu mencintai negerinya, yang ingin mengenang tempatnya lahir dan besar
sebagai salah satu tempat terbaik yang pernah Tuhan ciptakan di muka bumi.
Seorang anak bangsa yang bermimpi melihat generasi muda
Indonesia
mampu
berdiri tegak dan berteriak “Aku peduli
kelestarian lingkungan hidup
http://blog.its.ac.id/pejuang13isitsacid/2009/12/29/esai-lingkungan-hidup
Indonesia
!”
dengan lantang dan bangga. Semoga bait kedua lagu Ibu Pertiwi bisa menjadi
spirit bagi kita dan pemerintah untuk bersama bergandengan tangan menjaga
kelestarian lingkungan hidup
Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar